Maybe, It’s You

url
Sumber Gambar

Dinda melakukan aktivitas selepas shalat Isya seperti biasanya, yaitu menyalakan laptop putihnya dan ber-facebook ria. Begitulah nasib seorang anak kost seperti Dinda. Ia kerap kali merasa kesepian jika sudah berada di kamarnya. Setidaknya, facebook dapat mengurangi kesendiriannya. Terlebih lagi ketika Dinda melihat bilangan 114 di sudut kanan bawah layarnya yang menunjukkan banyaknya teman facebook Dinda yang sedang online malam itu.

“Eh, ada satu friend request,” Dinda penasaran siapa yang kali itu ingin berteman dengannya. Ternyata seorang pria. Dari foto profilnya, tampang pria itu tampak biasa saja. Tetapi tetap saja ia penasaran dengan calon teman barunya itu. Akhirnya Dinda membuka timeline pria yang bernama lengkap Muhammad Fatah itu. Fatah berusia 4 tahun lebih tua dari Dinda yang kini berusia 23 tahun, tinggal di Bandung, masih bujangan, dan bekerja di… “Hah? Ternyata ini rekan kerja gue di kantor? Fatah yang mana, ya?” Bola mata Dinda bergerak-gerak sambil sesekali berkedip, berusaha mengingat orang-orang kantor yang ia kenal. Namun usahanya gagal. Tak satu pun rekan kerja yang ia kenal yang bernama Fatah.

Mata Dinda kembali tertuju pada timeline Fatah. Setelah dilihat-lihat, sepertinya Fatah orang baik. Tidak enak juga kalau Dinda sampai tidak mengkonfirmasi pertemanan dari rekan kerjanya sendiri. Akhirnya, Dinda menerima Fatah sebagai teman ke-1768 di facebooknya. Selang 36 detik, Fatah menyapa Dinda lewat facebook chat. Ini adalah kesempatan Dinda untuk mengetahui identitas Fatah.

Fatah : Assalamualaikum.. 🙂

Dinda : Waalaikumussalam..  Maaf, ini Mas Fatah yang mana, ya? Apa kita pernah ketemu di kantor?

Fatah : Saya bekerja di bagian keamanan kantor.

Dinda : Security, maksudnya?

Fatah : Lebih tepatnya, bos-nya para security perusahaan. Hehehe.. 😀

Dinda : Ooh..

Fatah : Mbak Dinda, besok ada rapat pertemuan dengan pemimpin perusahaan ternama dari Jepang, ya?

Dinda : Aduh, jangan panggil “Mbak” dong, Mas.. 😦

Dinda : Kesannya saya tua amat.. 😦

Dinda : Saya kan lebih muda dari Mas Fatah.

Dinda : Panggilnya “Dinda” aja.

Fatah : Oh, oke deh, Dinda. 😀

Dinda : Sip. Oh, iya. Kok Mas bisa tau kalo besok ada rapat itu?

Fatah : Kan saya juga diundang hadir.

Fatah : Diminta Pak Direktur untuk jaga keamanan saat rapat berlangsung.

Dinda : Wah, nanti kita bisa ketemu, dong!

Fatah : Iya, sekalian siapin juga kertas sama pulpennya, Din.

Dinda : Kertas sama pulpen? Buat apa?

Fatah : Kali aja mau minta tanda tangan saya. Hehehe.. 😀

Dinda : Apaan, sih.. (_ _”)

Fatah : Btw, makasih ya, Dinda, udah diconfirm.

Fatah : Sampe ketemu besok, ya. Saya istirahat duluan. Udah malem.

Dinda : Oh, oke!

Fatah : Assalamualaikum..

Dinda : Waalaikumussalam.

Seru juga orangnya, pikir Dinda. Ia jadi semakin penasaran siapa Fatah itu. Seperti apa paras wajahnya.

Keesokan harinya, Dinda bangun lebih awal, bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang pun ia sudah selesai mandi dan sudah duduk manis di atas sajadah dengan mukena putih yang baru ia cuci dua hari yang lalu. Setelah shalat subuh, Dinda menyiapkan sarapan alakadarnya. Roti bakar dan segelas susu coklat dirasa cukup untuknya. Sambil menyantap makanannya, Dinda mengaktifkan ponselnya dan langsung membuka facebook miliknya. 5 notifikasi dan 3 friend request sama sekali tak dihiraukannya. Ia justru tertarik pada percakapannya dengan Fatah semalam. Entah apa yang membuatnya begitu penasaran sampai berkali-kali melihat info tentang Fatah di timelinenya.

Dinda berangkat ke kantor dengan menggunakan Jazz putih kesayangannya. Beruntung ia berasal dari keluarga yang kaya raya. Sebenarnya ia mampu membeli rumah untuk tempat tinggalnya. Namun, ia ingin mencoba merasakan apa yang dirasakan teman-teman lainnya. Tinggal di kamar kost ternyata tidak seburuk yang ia kira. Cukup menyenangkan.

Sesampainya di kantor, Dinda celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Terkadang ia menghentikan langkahnya sekedar untuk mengamati sekitarnya. Ia terus begitu sampai tiba di depan pintu ruang rapat. Ia menghela napas panjang, lelah karena tak menemukan orang yang wajahnya seperti yang ada di foto profil Fatah. Ya, sedari tadi ia sibuk mencari Fatah. Ia kira pihak keamanan pasti akan datang lebih awal. Sayang, perkiraan Dinda salah. Tadinya kalau Dinda datang lebih awal, ia bisa bertemu dengan bos security itu sebelum rapat. Tau begini, mendingan aku tiduran dulu di kamar. Huuuuh.. Dinda mengeluh dalam hati sambil memasuki ruang rapat.

Sudah ada tiga orang yang duduk di ruang rapat. Dengan kata lain, Dinda adalah orang keempat yang tiba di sana. Ini prestasi yang luar biasa untuknya karena biasanya ia datang setelah rapat dimulai alias terlambat. Dinda duduk di kursi dengan perasaan kecewa. Sambil menunggu rapat dimulai, Dinda kembali membuka facebook di ponselnya. Ada 1 message yang belum Dinda baca.

Fatah : Assalamualaikum! Ciee.. yang dateng pagi.. Tumben, biasanya telat. Hahaha.. 😀

Deg! Dinda menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ia mengira Fatah ada di sekitarnya. Ia berhenti mencari setelah memikirkan kemungkinan lain. Ya, mungkin saja Fatah melihatnya saat baru tiba di kantor tadi. Pasti. Tapi, sebentar, ada yang aneh dengan sindiran Fatah. Bagaimana ia bisa tahu kalau Dinda sering datang terlambat? Mungkinkah sesungguhnya Fatah sudah lama mengamati gerak-gerik Dinda di kantor? Sudah berapa lama?

Dinda : Iya, nih. Rapat kali ini ga boleh telat. Jadi saya dateng lebih awal.

Fatah : Bukan karena mau ketemu saya, kan? 😀

Dinda : Ya nggak, lah…

Wajah Dinda mendadak hangat karena ia merasa apa yang dituduhkan Fatah padanya adalah benar. Namun, walaubagamanapun ia harus mempertahankan harga diri di hadapan Fatah. Penasaran bukan berarti tertarik, kan? Jadi wajar saja kalau Dinda ingin segera bertemu dengan Fatah yang menurutnya masih sesosok misterius.

Fatah : Hehehe.. Sori, bercanda. 🙂

Dinda : Gapapa. Oiya, ko Mas belum dateng ke ruang rapat?

Fatah : Saya sedang di depan hotel tempat pemilik perusahaan Jepang itu menginap. Saya ditugaskan untuk mengawal beliau ke kantor.

Fatah : Eh, udah dulu, ya. Orangnya udah muncul. Kami segera ke sana.

Dinda : Oke. Hati-hati, ya!

Fatah : Siip.

Setelah mengungkapkan kepeduliaannya, Dinda sadar bahwa sepertinya ia terlalu berlebihan mengucapkan kata “hati-hati” pada orang yang belum ia temui sama sekali. Tak biasanya ia memperlakukan orang, terlebih pria, yang baru ia kenal di facebook dengan sikap yang lembut. Ini memalukan. Dinda merasa kalah dalam mempertahankan harga dirinya. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Kata-kata itu sudah meluncur lancar dan sudah pasti dibaca oleh Fatah. Perasaan apa ini? Dinda merasa menyesal, namun juga senang melakukan itu. Ya, Allah.. Siapakah Fatah sebenarnya.. Apakah rasa penasaran ini wajar? Mungkinkah ini pertanda jodoh? Angan Dinda mulai melambung.

Lima belas menit kemudian, direktur perusahaan memasuki ruangan rapat, disusul oleh pria berwajah asing dan bermata sipit. Pasti itu adalah orang Jepang yang tadi dijemput oleh—

Mata Dinda terpaku melihat orang yang berjalan di belakang orang Jepang itu. Pria berpakaian rapi dengan tubuh tegap dan tinggi. Kulitnya cukup putih dan bersih untuk kalangan petugas keamanan. Ia berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan sekitar yang lama-lama justru terlihat seperti mencari seseorang. Matanya baru berhenti mencari setelah menangkap bayangan gadis berjilbab biru yang juga sedang memandangnya. Seulas senyum manis terukir di bibirnya.

Dinda salah tingkah saat Fatah melihat ke arahnya. Wajahnya tiba-tiba menunduk, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, dan giginya menggigit bibir. Lama-lama Dinda menggerutu sendiri. Kenapa aku harus salah tingkah, sih?

Akhirnya ia pun memberanikan diri mengangkat kembali wajahnya. Sedikit demi sedikit mengarahkan matanya pada Fatah. Namun kali ini ia tak mendapati Fatah sedang memandanginya lagi. Dinda merasa lega dan mulai bisa fokus pada isi rapat.

Setelah rapat ditutup, Fatah tak juga menghampiri Dinda. Dinda paham, hal itu tidak mungkin terjadi karena Fatah harus mengawal orang Jepang itu kembali ke hotel. Fatah hanya tersenyum dan sedikit mengaggukkan kepalanya tanda ia pamit. Sungguh, pria itu terlihat begitu tampan di mata Dinda. Dengan mudahnya hati Dinda luluh hanya dengan menatap senyumannya. Tanpa disadari, Dinda pun membalas senyuman Fatah. Dinda menatap Fatah hingga punggungnya menjauh dan menghilang dari pandangannya.

Astaghfirullah! Dinda memejamkan matanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu menepuk-nepuk jidatnya dengan tangan kanan. Setelah menarik napas panjang, Dinda merenung sebentar. Ya, Allah.. Ada apa denganku.. Siapa dia? Kenapa dia membuatku seperti ini? Apakah ini pertanda jodoh? Atau..mungkin hanya godaan setan? Beri hamba petunjuk, Ya Rabb.. Ampuni hamba jika hamba salah..

Langit sore ini begitu indah. Dinda menatap langit senja dengan sepenuh hati sebelum memasuki mobil. Subhanaallah.. Dinda sungguh sangat menyukainya. Kebesaran Allah memang tiada tandingannya. Pemandangan seperti ini membuat rasa cinta pada Sang Pencipta bertambah-tambah.

Baru saja ia akan memasuki mobil, tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil.

“Dinda!!” Suara seorang pria yang begitu nyaman didengarnya. Entah mengapa walaupun matanya belum menemukan sumber suara, ia merasa senang namanya disebut. Ternyata Fatahlah sang sumber suara itu. Fatah melambaikan tangannya dari pos security dengan senyumannya yang…membuat wajah Dinda menghangat seketika.

Dinda tertarik untuk menghampiri Fatah sambil berpikir apa yang akan ia katakan pada pria itu, terlebih lagi di sana juga ada dua orang security bawahan Fatah yang sedari tadi terlihat sedang menggoda Fatah karena telah memanggilnya. Akhirnya Dinda pun menutup dan mengunci pintu mobilnya kembali dan menghampiri Fatah dengan jantung yang berdegup kencang.

“Udah mau pulang?” Fatah membuka percakapan dengan pertanyaan—yang menurut Dinda basi—namun kali ini terasa enak didengar.

“Iya. Kerjaan juga udah beres..” Dinda merasa jawabannya sangat garing. “Hmm.. Kan waktu ngantornya juga udah abis, udah sore juga..” Dinda merutuki dirinya sendiri. Jawaban apa ini? Dinda merasa tambahan jawabannya itu tidak perlu diucapkan. Ditambah lagi dengan sikapnya yang terlihat salah tingkah di hadapan Fatah. Dinda semakin merasa terlihat bodoh di hadapan Fatah. “Mas belum pulang?”

Fatah menanggapi segala ucapan Dinda dengan senyum yang selalu berhasil membuat Dinda meleleh dan beristighfar berkali-kali dalam hatinya. “Udah..”

“Udah? Udah pulang, maksudnya? Kok masih di sini?” Dinda heran dengan jawaban Fatah.

Fatah tertawa kecil melihat raut wajah Dinda yang kebingungan, lalu berkata, “Ya belum pulang, lah, Din… Saya kan masih di sini, berarti saya belum pulang..” Fatah melanjutkan tawa kecilnya.

“Tapi kok tadi bilangnya ‘udah’?”

“Saya cuma bercanda, Dinda.. Abisnya, kamu, udah tau saya masih di sini, masih nanya juga saya udah pulang apa belum. Haha..”

“Tadi juga Mas Fatah gitu! Udah tau saya mau pulang, masih nanya juga,” Dinda nggak mau kalah.

“Loh? Naik mobil kan belum tentu pulang. Siapa tau ke tempat lain. Iya, kan?” Fatah membela diri.

Dinda memainkan bola matanya, tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Sedangkan para security bawahan Fatah sejak tadi seperti sedang menonton pertandingan bulu tangkis di pinggir lapangan. Mereka yang berada di tengah Fatah dan Dinda menggerakkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, ke arah Fatah, lalu ke arah Dinda, balik lagi ke Fatah, dan kini mengarah ke Dinda, menunggu kata-kata selanjutnya yang akan meluncur dari mulut Dinda.

“Hmm.. Mas Fatah masih di sini juga kan belum tentu belum pulang. Siapa tau tadi sebenernya udah pulang, tapi balik lagi ke sini karena ada urusan. Iya, kan?”

Dua security itu mengarahkan wajahnya ke Fatah. Fatah tampak menahan tawa. Tawanya pecah setelah dua detik. Kedua bawahannya itu malah semakin menggoda Fatah dan Dinda. “Cieeeeee… Adeuuuuuuuhh…” Mereka pun tertawa bersama dan saling bercerita satu sama lain, seolah-olah sudah lama saling mengenal.

Dinda begitu menikmati sesi mengobrol ini, hingga tak terasa adzan maghrib pun berkumandang, menyadarkan mereka akan langit yang mulai gelap. Dinda tak jadi pulang tepat waktu. Ia harus shalat maghrib dulu di kantor, karena macetnya jalanan akan membuatnya tidak sempat melaksanakan shalat maghrib di kamar kost-nya.

“Mas, saya ke mushola dulu, ya. Setelah itu saya mau langsung pulang aja,” Dinda berpamitan.

“Oh, iya. Silakan. Sama, saya juga mau ke mushola. Tapi saya nggak akan pulang dulu, soalnya masih banyak tugas,” Fatah menanggapi.

“Siapa yang nanya?” Dinda membuat tawa mereka pecah kembali. Mereka pun bubar dengan menyisakan tawa kecil.

Selepas shalat maghrib, Dinda langsung menuju mobil dan mengendarainya menuju ke sebuah toko buku ternama di kota Bandung. Sepanjang jalan ia tersenyum bahagia, mengingat obrolannya dengan para security tadi. Tentu saja wajah yang paling diingatnya adalah wajah Fatah. Senyumnya semakin mengembang saat membayangkan Fatah tersenyum padanya. Lamunannya semakin menjadi hingga ada suara klakson yang bersahutan membangunkannya dari lamunan.

“WOOOYY!!! JALAN!!!” Para pengemudi di belakang mobil Dinda marah karena saat lampu hijau menyala, Dinda tak kunjung menjalankan mobilnya. Dinda panik dan segera tancap gas.

Di parkiran toko buku..

Dinda menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Tubuhnya ia hempaskan ke sandaran jok mobil. Ia heran, sebelumnya tak pernah merasa seberbunga ini. Inikah yang namanya cinta pada pandangan pertama?

Tiba-tiba Dinda kaget mendapati Fatah sedang berdiri di samping mobilnya, menatapnya dengan lembut. Fatah bercahaya, membuat Dinda lupa kalau hari sudah malam. Betapa senangnya ia dapat bertemu kembali dengan Fatah secepat ini. Tetapi, bukankah tadi Fatah bilang masih ada urusan di kantor? Ia menatap pria itu dalam-dalam diakhiri dengan istighfar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat hingga suara ketukan di jendela mobil terdengar olehnya.

“Mbak! Mbak! Maaf, posisi mobilnya kurang pas. Mundur lagi sedikit, Mbak!” Dinda kembali menatap pria itu.. Astaghfirullaah.. Ternyata tukang parkir, bukan Fatah. Kalau sedang menonton film, adegan seperti ini kerap kali membuat Dinda melecehkan tokohnya. Ia tak suka adegan yang menurutnya ‘lebay’ itu. Dan sekarang, bagaimana bisa ia mengalami hal yang memalukan ini? Dinda menertawakan dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk kepalanya, berharap bayangan Fatah enyah dari pikirannya. Dinda segera menuruti apa kata tukang parkir. Ia memasuki toko buku dengan sedikit salah tingkah, merasa bahwa semua orang telah melihat adegan ‘lebay’nya di dalam mobil.

Di kamar Dinda…

Ya Allah, Siapa Jodohku?
Dinda membaca judul dari buku yang baru dibelinya. Sekali, dua kali, sampai tiga kali. Ia berharap dengan membaca buku karya Ahmad Rifa’i Rifan ini bisa memberikan pencerahan untuknya. Cover buku tersebut berwarna putih dan ada ilustrasi seorang wanita di bagian depannya, seolah-olah wanita itu adalah dirinya.

Fatah sudah membuatnya galau seharian. Dinda cukup lelah dibuatnya. Malam ini ia memutuskan untuk tidak menyalakan laptopnya. Ia ingin fokus membaca buku, berharap mendapatkan sesuatu. Namun, baru saja ia sampai di halaman 11, matanya sudah tak sanggup lagi melihat rangkaian huruf-huruf di depannya yang perlahan-lahan buram seperti saling bergabung satu sama lain. Dinda pun tertidur di atas tempat tidurnya tanpa sempat menarik selimut.

Keesokan harinya…

Dinda terbangunkan oleh suara ponselnya. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponselnya. Setelah dapat, dengan malas Dinda menerima telepon tanpa melihat dulu siapa yang memanggilnya.

Assalamualaikum..?” Suaranya serak, khas orang yang baru bangun tidur.

Waalaikumussalam. Din, Lo baru bangun?” Suara di balik telepon menyadarkan Dinda bahwa yang sedang bicara dengannya adalah Keysha, sahabatnya yang sama-sama dari Jakarta. Kini mereka bekerja di Bandung, namun di perusahaan yang berbeda.

“Iya, Key… Ada apa…?” Dinda masih setengah sadar.

“Lo lagi nggak shalat, ya?” Tanya Keysha.

“Shalat, ko…” Dinda masih berusaha mengumpulkan nyawanya.

“Ini udah jam 6, Din!! JAM 6!!!” Nada Keysha berubah tegas. Mengagetkan Dinda yang hampir tertidur lagi. Namun, Keysha berhasil mengumpulkan nyawa Dinda seutuhnya.

Dinda terperanjat mendengar apa yang baru saja Keysha katakan. “Astaghfirullaah!! Gue belum shalat subuh, Key! Sori, gue tutup dulu teleponnya, ya! Entar gue telepon balik!” Tanpa menunggu jawaban Keysha, Dinda memutuskan telepon dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.

Setelah shalat subuh…

“Halo, Key? Sori, ya, tadi gue langsung tutup teleponnya. Makasih banget udah bangunin gue. Gue lupa nyalain alarm. Adzan subuh juga sama sekali nggak kedengeran,” Dinda menjelaskan.

“Lo kecapean kali, Din.. Nggak biasanya Lo kesiangan shalat subuh..” Terdengar suara cemas dari balik telepon.

Dinda teringat semua peristiwa kemarin. Apa yang ia alami memang membuatnya lelah. Tapi, apa iya memang itu penyebabnya? Dinda ragu. “Gue juga nggak tau, Key.. Iya kali gue kecapean.. Eh, tadi ada apa telepon gue? Lo nggak niat ngebangunin gue, kan?”

“Nggak, lah.. Mana gue tau kalo Lo belum bangun. Hari ini mau ke MPI, nggak?”

MPI merupakan singkatan dari Majelis Percikan Iman, yaitu pengajian rutin setiap hari Minggu yang diadakan oleh Yayasan Percikan Iman. Ustadz Aam Amiruddin yang berceramah di sana. Beliau adalah ustadz favorit mereka. Sejak kerja di Bandung, mereka mengunjungi pengajian itu setiap minggunya.

“Emangnya ini hari Minggu, ya?” Dinda linglung.

“Ya ampun, Din… Nyawa Lo belum ngumpul juga? Ya, iya, lah… Ieu teh poe Minggu, Neng Geulis..—Ini tuh hari Minggu, Nona Cantik..” Keysha melakukan penekanan dengan bahasa Sunda yang terdengar aneh.

“Ooh.. Haha! Jelek banget sih Lo ngomong Sundanya! Nggak pantes!” Ledek Dinda.

“Alah! Kayak yang bisa aja, Lo!” Keysha membela diri. “Mau, nggak, nih?” Tanya Keysha kembali.

“Oke! Gue jemput Lo sejam lagi, ya.”

Di tempat pengajian…

“Baiklah, seperti biasa, sebelum kita mendengarkan materi dari Ustadz Aam, kita masuk dulu pada sesi tanya jawab,” ujar moderator.

Di MPI ini memang berbeda dengan pengajian lain. Biasanya materi dulu, baru tanya jawab. Kalau di sini, sesi tanya jawab dulu, baru masuk ke materi. Tetapi, pertanyaannya tidak terbatas pada tema tertentu, alias bebas.

Moderator mulai membacakan pertanyaan dari salah satu jemaah. “Assalamualaikum, Ustadz. Nama saya Fatah. Saya mau bertanya..”

Deg! Fatah? Jantung Dinda mendadak berdegup kencang. Jari tangannya yang sedang memegang pulpen yang ringan pun jadi terasa berat. Dinda segera menepiskan pikirannya. Ia mencoba berpikir positif. Toh yang namanya Fatah bukan hanya dia, kan?

“Saya sedang menyukai seorang perempuan yang satu kantor dengan saya. Saya tahu, tidak ada pacaran sebelum nikah dalam Islam. Jadi, saya memutuskan untuk mengkhitbahnya, dan mengambil jalan menikah. Tetapi, saya masih ragu, Ustadz. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya bisa mengetahui bahwa dia adalah jodoh saya atau bukan? Itu saja pertanyaan saya. Terima kasih. Doakan saya ya, Ustadz. Semoga dia memang jodoh saya.” Pernyataan terakhir pria yang bernama Fatah itu sontak membuat para jemaah tertawa kecil mendengarnya.

Dinda tak mampu berpikir positif lagi. Sepertinya pria yang bertanya itu benar-benar Fatah. Fatah yang ia kenal di kantornya. Tetapi, siapa perempuan yang ia sukai itu? Entah mengapa, tiba-tiba ada yang terasa sakit di bagian kecil hatinya yang paling dalam.

Jika memang benar dia itu Fatah yang ia kenal, dan melihat bahwa di kantornya terdapat ratusan pegawai perempuan, maka peluangnya sebagai perempuan yang Fatah sukai sangatlah kecil. Namun, sekecil apapun peluang itu, tetap saja Dinda masih punya harapan. Dinda sangat berharap dirinyalah yang disukai oleh Fatah.

“Begini, Fatah..” Ustadz Aam mulai memberikan penjelasan. “Jodoh itu rahasia Allah. Maka kalau Anda ingin tahu apakah perempuan itu jodoh Anda atau bukan, berdoa saja pada Allah. Minta petunjuk dari-Nya. Kalau berdoa masih dirasa belum mendapat kemantapan hati, Anda juga bisa melakukan shalat istikharah. Berdoa pun tidak sembarangan berdoa. Misalnya, karena Anda ingin perempuan itu adalah jodoh Anda, lantas Anda memaksa sama Allah. Nah, nggak begitu caranya. Karena walaubagaimanapun baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Allah Yang Maha mengetahui apa yang terbaik untuk kita.”

Dinda mendengarkan jawaban Ustadz Aam dengan seksama.

“Kalau tidak tahu bahasa Arabnya ya pakai bahasa Indonesia aja. Misalnya, ‘Ya, Allah.. Ya, Rahman.. Jika A adalah jodohku, terbaik untuk dunia dan akhiratku, maka dekatkanlah kami, dan satukanlah kami dalam ikatan suci yang Engkau ridhoi. Namun, jika menurut ilmu-Mu yang maha luas dia bukanlah jodohku, tidak baik untuk dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah kami dengan cara-Mu dan gantikanlah dia dengan yang lebih baik. Aamiin..’ Begitu juga bisa..” Jelas Ustadz Aam. Dengan cekatan, Dinda mencatat doa yang baru saja dicontohkan Ustadz Aam.

Begitu pengajian bubar, Dinda memaksa Keysha untuk tidak meninggalkan tempat pengajian terlebih dahulu. Ia ingin memastikan keberadaan Fatah di sana. Namun, Keysha tampak kesal dibuatnya.

“Lo mau nyari siapa, sih, Din?” Keysha penasaran.

“Nyari seseorang,” jawab Dinda singkat sambil terus memperhatikan tempat bubarnya para ikhwan dari mesjid. Sesekali ia menjinjitkan kakinya agar ia bisa melihat lebih tinggi.

“Siapa? Gue bantuin, deh..” Keysha menggoyang-goyangkan tangan Dinda. Dinda tetap fokus dan tak memedulikan Keysha.

“Lo nggak tau orangnya, Key.. Tungguin bentar lagi, napa..”

Keysha mendengus kesal. Tiba-tiba raut wajahnya berubah seperti sedang melihat sesuatu yang memesonakan matanya. Sesosok pria memakai baju koko berlengan pendek berwarna hitam dengan celana jeans panjang berhasil menarik perhatian dan menghapus kekesalannya pada Dinda.

Kang Fandi. Begitulah Keysha memanggil pria bertubuh tinggi itu. Ia tidak pernah tahu siapa nama asli Kang Fandi. Karena selama ini Keysha memang berstatus sebagai pengagum rahasianya saja. Pertama kali ia melihat sosok Fandi ya di sini, di tempat pengajian hangat ini, sekitar lima minggu yang lalu. Sudah lama, bukan? Tetapi wajah Fandi masih bisa diingatnya dengan jelas.

“Din.. Dinda.. Dinda!” Keysha menggoyang-goyangkan tangan Dinda kembali.

“Apaan sih, Key?” Dinda lelah mencari, dan akhirnya melihat juga ke arah Keysha.

“Liat itu! Itu, tuh!” Keysha menunjuk ke arah Fandi.

“Mana? Yang pake baju item itu?” Dinda memastikan.

“Iyaa.. Itu..”

” Lo kenal dia? Panggil, dong!”

“Nggak, ah! Orang dia nggak kenal gue. Gue cuma suka aja sama dia. Namanya Fandi. Nanti gue kenalin deh ke Lo,” Keysha bicara pada Dinda tanpa mengedipkan matanya yang masih tertuju pada punggung Fandi yang perlahan menjauh.

“Gimana Lo mau ngenalin dia ke gue, orang dia aja nggak kenal Lo. Ngaco, ah.. Ayo, pulang!” Dinda menarik tangan Keysha.

“Eh, kok pulang? Lo udah nemu orang yang Lo cari tadi?”

Dinda hanya diam.

Di kamar Dinda (sepulang dari pengajian)…

Dinda membaca doa yang dicontohkan Ustadz Aam tadi pagi secara berulang-ulang. Selanjutnya, ia mulai membaca doa tersebut di setiap akhir shalatnya. Nama Fatah ia masukkan dalam doanya. Entah mengapa ada yang berbeda dalam hatinya. Ia merasa bahwa dirinya adalah tulang rusuk Fatah yang hilang. Mungkin saja itu terjadi. Toh untuk menemukan jodoh tak perlu mengenalnya bertahun-tahun, kan? Ya, mungkin saja Fatah adalah jodohnya meski baru bertemu sekali.

Setelah menunaikan shalat Maghrib dan membaca Alquran, Dinda membuka facebook di ponselnya. Tak ada satu pun pesan dari Fatah. Padahal Fatah sedang online sekarang. Dinda sedikit kecewa. Beberapa detik kemudian, terbesit di pikiran Dinda untuk menanyakan perihal keberadaan Fatah di pengajian tadi pagi. Dinda pun mulai mengetik pesan untuk Fatah.

Dinda : Assalamualaikum, Mas. Ini aku, Dinda.

Dinda langsung menghapus kalimat terakhirnya. Bodoh! Pikirnya. Untuk apa Dinda menyebutkan nama. Dinda menepuk jidatnya keras-keras sampai berteriak kesakitan sendiri.

Dinda : Assalamualaikum, Mas. Saya mau tanya. Tadi pagi, Mas ke MPI, nggak?

Selang 5 menit, Fatah baru membalasnya. Mungkin Mas Fatah sedang sibuk, gumam Dinda dalam hati.

Fatah : Waalaikumussalam. Iya, kok tau? Dinda ke sana juga?

Jantung Dinda berdegup kencang seketika membaca jawaban Fatah. Ternyata dugaannya benar. Orang yang bertanya di MPI tadi adalah Fatah, rekan kerjanya yang sedang ia harapkan itu.

Dinda : Iya, saya ke sana juga. Sejak kerja di Bandung, saya emang suka ke sana. Sesekali dengerin juga di radio.

Fatah : Oya? Waah.. Alhamdulillah.. Syukurlah..

Dinda : Hmm? Maksudnya?

Fatah : Nggak.. Saya seneng kalo ternyata Dinda juga suka ke MPI.

Dinda merasa ada sesuatu di balik pernyataan Fatah. Mengapa Fatah perlu merasa senang dengan kehadiran Dinda di MPI? Mungkinkah…

Dinda : Tadi yang tanya tentang jodoh tuh Mas Fatah, ya?

Fatah : Iya. Duh, saya jadi pengen malu..

Dinda : Ciieee.. Yang lagi jatuh cinta. Sama siapa, tuh..?

Dinda mencoba untuk berlagak layaknya tak memiliki perasaan apapun pada Fatah. Lagi-lagi Dinda mempertahankan harga dirinya. Ia memberanikan diri bertanya seperti itu karena rasa penasarannya yang mendalam, sekaligus juga berharap dirinyalah yang Fatah sukai.

Fatah : Ada, deh… Hehehe… 😀 Nanti juga tau sendiri.

Dinda : Yaah.. Jadi, saya nggak boleh tau, nih?

Fatah : Boleh. Tapi nanti aja, ya. Masih rahasia.

Dinda mengakhiri percakapan mereka dengan meninggalkan rasa penasaran yang semakin menjadi. Dinda merasa peluangnya menjadi orang yang disukai Fatah semakin besar. Namun, ia pun segera mengendalikan pikirannya yang melambung tinggi. Ia khawatir dirinya akan terjatuh saat tahu bahwa kalau ternyata ia bukanlah orang yang Fatah maksud.

Lamunan Dinda dibuyarkan oleh suara ponselnya. Ada pesan baru dari Keysha.

Keysha
Din… Gue benci sama diri gue sendiri… Gue kepikiran terus sama Kang Fandi… Gue sampe berharap kalo dia adalah jodoh gue… Tapi kok rasanya gue jauh banget sama dia. Kenal aja nggak… Gue harus gimana, Din…

Jangankan Lo, Key. Gue aja sekarang lagi galau setengah mati, gumam Dinda dalam hati sambil menghela napas panjang. Dinda segera membalas pesan Keysha.

Dinda
Berdoa aja kayak yang dicontohin Ustadz Aam tadi pagi, Key. Minta ketenangan hati juga sama Allah. Minta petunjuk untuk mengenalnya jika memang itu yang terbaik.

Setelah membalas pesan Keysha, Dinda meneruskan membaca buku yang ia beli kemarin.

6 hari kemudian…

Fatah : Assalamualaikum, Dinda. Besok jam 11 siang, setelah acara MPI, ada acara lain, nggak? Saya ingin ketemu. Ada yang ingin saya bicarakan.

Pesan serius dari Fatah begitu menggetarkan hati Dinda. Ini tidak biasa. Mengapa Fatah memintanya untuk bertemu? Jika memang ada yang ingin dibicarakan, tak bisakah hanya lewat dunia maya saja? Atau…mungkinkah Fatah ingin menyatakan cinta padanya? Dinda menutup mulut dengan tangan kanannya. “Nggak mungkin. Lo harus berpikir jernih, Din. Jangan terlalu berharap!” Kedua tangannya kini memegang kepalanya.

Dinda : Nggak ada, Mas. Boleh. Mau ketemu di mana?

Fatah : Ketemunya di rumah makan Kampung Daun yang di Lembang aja, gimana? Kita sekalian makan siang.

Dinda : Oke. Hmm.. Berduaan aja?

Fatah : Nggak, lah. Saya mau bawa temen. Sebaiknya sih Dinda juga bawa temen. Deal?

Dinda : Deal!

Fatah : Boleh minta nomor hp? Ini untuk mempermudah pertemuan.

Dinda : Boleh..

Setelah saling bertukar nomor handphone, mereka berdua mengakhiri percakapan. Dinda semakin sulit untuk tidak berpikir bahwa Fatah akan menyatakan cintanya. Ah, apa yang akan Dinda katakan jika memang itu yang akan terjadi? Namun, walaubagaimanapun tentu saja Dinda akan menerimanya. Meski Fatah langsung mengajaknya menikah, Dinda akan tetap menerimanya. Tapi, bagaimana mengatakannya? Tentu Dinda harus menceritakan semua ini pada orang tuanya terlebih dahulu. Bagaimana jika orang tuanya tidak mengizinkan hubungan mereka, mengingat pekerjaan Fatah yang hanya sebagai seorang security perusahaan tempat Dinda bekerja.

Dinda segera mengirim pesan pada Keysha untuk memintanya menemani saat bertemu dengan Fatah nanti. Tanpa harus bersusah payah membujuknya, Keysha langsung menyetujuinya. Kini, Dinda sibuk mencari pakaian yang akan ia kenakan esok hari. Di tengah kesibukannya itu, Dinda menatap bayangan matanya di cermin dalam-dalam. Ia berharap dalam hatinya, semoga ini bukan hanya harapan kosong. Semoga dugaannya benar. Semoga.. Semoga..

Di hari yang dinantikan…

Sungguh, Dinda tak bisa berkonsentrasi saat mendengarkan materi yang disampaikan oleh Ustadz Aam saat itu. Ia terus menggenggam ponselnya hingga sedikit basah karena terkena keringat dari telapak tangannya. Perutnya terasa mulas, nyaris sakit. Sesekali Dinda melihat ke arah barisan ikhwan mencoba menemukan sosok Fatah, namun tak kunjung ia temukan.

“Lo kenapa sih, Din? Nyari calon suami Lo, ya?” Keysha merasa terusik dengan gerak-gerik Dinda yang terlihat tidak nyaman.

“Belum tentu dia calon gue, Key. Gue juga kan ini baru ngira-ngira aja kalo dia emang mau nyatain ke gue. Janji, ya. Nanti Lo jangan ngetawain gue kalo emang perkiraan gue salah,” kata Dinda.

“Iyaa.. Tenang aja. Eh, udah beres, nih. Mau ketemu dulu di sini atau gimana?” Tanya Keysha.

“Nggak tau, nih.. Gue telepon dulu, deh,” Dinda segera mencari nama “My Special” di daftar telepon Hp-nya, kemudian langsung menghubunginya. Sementara Keysha sibuk mencari Kang Fandi ke arah tempat bubarnya para ikhwan. Setelah bertanya, Dinda tak banyak bicara. Ia hanya terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

“Gimana, Din? Ketemu dulu di sini, nggak? Gue penasaran banget sama orangnya. Lo sih nggak pernah ngeliatin fotonya ke gue..”

“Entar juga Lo ketemu. Kita disuruh langsung ke Kampung Daun, katanya. Yuk!” Dinda menarik tangan Keysha. Keysha tampak sedikit kecewa, karena lagi-lagi minggu ini ia tak melihat sosok lelaki harapannya, Kang Fandi. Ia hanya menghela napas panjang dan berjalan mengikuti Dinda.

Sesampainya di Kampung Daun…

Dinda dan Keysha turun dari mobil dan segera menuju saung yang sudah dipesan oleh Fatah. Dinda mendapat kabar bahwa Fatah sudah tiba di sana sekitar 10 menit yang lalu.

Pemandangan area rumah makan yang begitu hijau dan permainan musik Sunda yang mengalun lembut menyambut kedatangan Dinda dan Keysha. Namun, suasana tenang tersebut tak sanggup menenangkan Dinda. Doa yang dicontohkan Ustadz Aam terus ia ucapkan dalam hati.

Ya, Allah.. Ya, Rahman.. Ya, Rahim..
Jika menurut ilmu-Mu yang Maha Luas Mas Fatah adalah jodohku, terbaik untukku, baik untuk dunia dan akhiratku, maka dekatkanlah kami dan satukanlah hati kami dalam ikatan suci yang diridhoi oleh-Mu. Namun, jika menurut-Mu Mas Fatah bukan jodohku, bukan yang terbaik untukku, tidak baik untuk dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah kami dengan cara-Mu, hilangkanlah semua perasaanku padanya, dan pertemukanlah aku dengan orang yang lebih baik menurut-Mu. Aamiin..

Ia berharap apapun yang terjadi hari ini, semoga itulah yang terbaik untuknya. Ia juga kembali mengingat-ingat jawaban “ya” yang telah ia persiapkan semalam.

Sesampainya di saung, Dinda tak melihat Fatah. Di saung itu hanya ada seorang pria yang tidak ia kenal. Namun, setelah bertatapan, pria itu menyapanya.

“Kamu pasti Dinda temennya Fatah, kan?” Tanyanya.

“I..iya.. Mas siapa?”

“Saya Rivan, temennya Fatah juga. Silakan duduk di sini. Fatah lagi ke Toilet dulu sebentar,” jelas Rivan.

Dinda dan Keysha pun memasuki saung dan duduk di hadapan Rivan yang terhalang meja. Tak lama kemudian, Fatah datang dengan menggunakan celana jeans biru dan baju koko putih. Tampak sangat tenang dan dewasa. Wajahnya sangat bersih dan berseri. Siapapun yang baru mengenalnya saat itu tidak akan tahu bahwa Fatah adalah seorang security. Dengan badan yang tinggi tegap serta ketampanannya yang memikat, mungkin orang lain akan mengira bahwa Fatah adalah seorang model busana muslim.

Sebentar. Ada yang aneh dengan ekspresi Dinda. Dia tak terlihat seperti biasanya. Setelah melihat wajah Fatah, matanya berpaling dan tak lagi sanggup melihat wajah Fatah dalam waktu yang lebih lama. Bahkan nyaris tak mau melihatnya. Jantungnya berdegup kencang, namun kali ini bukan karena pertemuannya dengan lelaki itu. Dinda yakin, ini bukanlah perasaan yang ia rasakan seminggu sampai beberapa menit lalu. Dinda tertunduk, bukan karena malu, melainkan sedang berusaha mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan. Apa mungkin karena ia terlalu gugup? Entahlah.

“Mau pesan apa, Din?”

Pertanyaan Fatah mengalihkan perhatian Dinda. “Oh, iya, itu.. Saya pesan minumnya aja, Mas. Strawberry juice. Kamu, Key?” Dinda menghindari tatapan mata dengan Fatah. Ia langsung mengarahkan bola matanya pada Keysha yang duduk di sebelahnya. Keysha yang biasanya cerewet tampak diam sedari tadi, membuat Dinda mati gaya.

Tadinya ia berharap Keysha dapat mencairkan suasana. Ternyata untuk kali ini—dan entah kenapa—Keysha begitu diam seribu bahasa. Ia hanya senyum sesekali tanpa suara. Bahkan ketika ditanya mau pesan apa pun ia hanya menunjuk tulisan “Air Mineral” pada daftar menu. Sungguh, Keysha sangat tidak membantu.

“Loh? Kok pada nggak pada pesen makanan? Emangnya nggak laper?” Tanya Rivan heran. Dinda dan Keysha hanya menggelengkan kepala mereka. “Ya, udah. Kita juga pesen minuman aja, deh. Gimana, Fatah? Oke?” Pertanyaan Rivan dijawab dengan anggukan kepala Fatah. “Hhh… Kok malah jadi sepi gini, sih…” Sedari tadi Rivan merasa seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Maaf, aku ke toilet dulu, ya,” Keysha beranjak dari tempat duduknya.

Aduh, Key… Kenapa Lo pake ke toilet segala, sih…? Gue gimana… Gimana kalo Mas Fatah nyatain ke gue pas Lo masih di toilet? Dinda mengomel dalam hati. Ia lalu menarik rok Keysha, membuat Keysha memalingkan wajahnya pada Dinda. “Jangan lama-lama, ya.. Please..” Dinda berbisik, dengan nada sedikit memelas. Keysha menanggapinya dalam diam.

Di toilet…

Keysha menatap cermin dalam-dalam sambil berusaha mengendalikan detak jantungnya yang begitu keras dan kencang sejak ia melihat Fatah.

Bagaimana mungkin bahwa Mas Fatah yang Dinda sukai adalah kang Fandi yang selama ini gue kagumi? Bagaimana mungkin? Keysha bertanya-tanya dalam hatinya.

Hatinya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan pahit ini. Keysha merasa seperti kalah sebelum bertanding. Melihat gelagat Fatah, ia yakin bahwa orang itu akan menyatakan cinta pada Dinda. Bagaimana ini? Keysha merasa tidak yakin akan kuat mendengar percakapan mereka saat peristiwa itu terjadi, karena Dinda sudah pasti menjawab ‘ya’. Gue nggak sanggup..

Tak terasa, air mata pun meleleh dan membasahi pipinya. Tangisannya semakin terdengar. Ia pun menutupi wajahnya. Ya, Allah… Inikah jawaban atas doaku? Mungkinkah ini pertanda bahwa hamba tidak berjodoh dengan Kang Fandi?Jika demikian, hilangkanlah semua perasaan hamba padanya, Ya Rabb.. Dan gantikanlah ia dengan orang yang lebih baik menurutmu.. Ya, Rahman.. Beri hamba kekuatan untuk menghadapi semua ini..

Keysha bangkit dari kesedihannya. Ia hapus air matanya. Walaubagaimanapun ia tak bisa menghindari apa yang akan terjadi di saung nanti. Dengan membaca Basmalah, ia yakin, Allah akan memberinya kekuatan. Toh apa yang bisa dilakukan manusia saat Allah sudah berkehendak lain? Setelah merapikan dandanan di wajahnya, Keysha menarik napas panjang dan segera kembali menuju saung.

Saat-saat yang menegangkan…

Ketika Keysha kembali, pesanan mereka sudah tersajikan di atas meja. Dinda tampak terus tertunduk, masih bingung dengan apa yang ia rasakan. Duduknya terlihat tak nyaman. Rasanya ia tak mau berlama-lama lagi di sana. Strawberry juice pesanannya sudah habis setengahnya.

“Mas, hmm.., manggil saya ke sini mau membicarakan apa, ya? Ini..soalnya saya..” Dinda melirik jam tangan Casio di tangan kirinya, “..jam satu ada perlu bareng Keysha.” Dinda terpaksa berbohong. Keysha mengerutkan keningnya, mengingat-ingat kembali janji apa yang telah ia buat dengan Dinda.

“Wah, setengah jam lagi, dong? Katanya nggak ada acara lagi setelah MPI?” Fatah memastikan.

“Iya, dadakan,” jawab Dinda.

“Ya, sudah.. Begini.. Ehm..” Fatah memulai pembicaraan. Ia menggenggam gelas dengan kedua tangannya.

“Sebenarnya saya sudah lama memperhatikan kamu, Din.. Sudah sekitar dua bulanan..”

Deg! Ini dia. Ini dia pernyataan pertama yang akan berlanjut pada pernyataan soal rasa. Dinda kembali tertunduk. Tangannya meremas rok dengan keras. Hati kecil Keysha serasa ikut diremas tangan Dinda. Sakit. Keysha yakin, Dinda pasti senang dengan pernyataan awal Fatah, yang justru terasa seperti pukulan hebat di kepalanya.

“Perempuan yang saya maksud saat bertanya di MPI minggu lalu adalah…”

Keysha segera tertunduk dan memejamkan matanya. Rivan heran melihat tingkah perempuan yang duduk di depannya itu. Dinda pun menahan napasnya sampai ia mendengarkan—

“…kamu, Dinda.”

Dinda menghembuskan napas pelan lewat mulutnya. Sedangkan Keysha melepas rok dari remasan tangannya. Ia sudah tak sanggup lagi untuk meremasnya. Tangannya mendadak lemas mendengar pernyataan Fatah.

Akhirnya Fatah menyatakan perasaannya pada Dinda. Inilah yang ditunggu-tunggu Dinda, tapi tidak untuk saat itu. Dinda justru meronta dalam hatinya.

Ya, Allah… Kemana perasaanku pada Fatah yang selama ini berkumpul di dalam hati? Mengapa semua rasa padanya hilang begitu saja? Mengapa kini malah cenderung menjadi…rasa tidak suka?Bagaimana ini, Allah…? Apa yang harus aku katakan padanya?Bahkan aku tak sanggup menatap matanya…

Rangkaian kata ‘ya’ yang sudah ia susun kini sudah tak dibutuhkannya.

Bimbing lisanku, Ya Allah… Jangan biarkan aku menyakitinya…

Melihat Dinda yang tak kunjung bereaksi, Fatah melanjutkan pernyataanya. “Setelah saya banyak berdoa, sampai beberapa kali shalat istikharah, saya semakin mantap dengan perasaan saya. Saya ingin kita…” Fatah melirik Rivan, dan Rivan pun mengangguk, meyakinkan Fatah untuk mengatakan—

“…menikah.”

Dinda sama sekali tak memedulikan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Fatah. Ia malah sibuk memikirkan apa yang harus ia katakan setelah Fatah selesai bicara.

Allah… Apakah ini jawaban-Mu atas doaku selama ini?

Dinda mengingat-ingat lagi doa yang selalu ia panjatkan.

Jika menurut ilmu-Mu Yang Maha Luas Mas Fatah bukan jodohku, bukan yang terbaik untukku, tidak baik untuk dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah ia dariku dengan cara-Mu, hilangkanlah semua perasaanku padanya…

Dinda semakin yakin ini adalah jawaban dari Allah Swt. Fatah bukanlah jodohnya.

Keysha pasrah. Mau bagaimana pun juga ia harus mengikhlaskan semua ini, mengikhlaskan Fatah untuk sahabatnya sendiri. Sudah jelas Fatah dan Dinda saling menyukai. Kini Keysha tinggal menunggu jawaban ‘ya’ dari Dinda. Ia pun mencoba mengangkat wajah dan mengembangkan senyum pada Dinda. “Gimana, Din? Ayo, terima… Tunggu apa lagi…”

“Maaf, Mas. Saya menganggap Mas tidak lebih dari sekedar teman,” akhirnya kata-kata itulah yang mengalir dari mulutnya.

“Din…” Keysha kaget dibuatnya hingga harus menutup mulutnya yang menganga. Sungguh, ini di luar dugaannya.

Fatah tertunduk, salah tingkah, dan tak tahu harus bagaimana menata hatinya. Ternyata ia salah mengira. Selama ini ia berpikir bahwa Dinda pun menyukainya, Dinda pun mengharapkannya—meski sesungguhnya ia tak sepenuhnya salah mengira. Andai saja ia tahu bagaimana perkembangan hati Dinda.

“Saya… Saya nggak bisa menerima lamaran Mas Fatah. Maaf… Maafin saya, Mas…” Dinda tak sanggup menatap wajah Fatah. Ia merasa bersalah sekaligus bersyukur karena Allah memberikan jawaban doanya di saat yang tepat.

Fatah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi penolakan yang sangat menusuk hatinya. Ia menarik napas panjang dan mencoba mengukir senyum meski ia tahu bahwa Dinda tak akan melihatnya. “Nggak apa-apa. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Mungkin ini yang terbaik dari-Nya. Tapi, setelah ini, saya harap kita tetap berteman, ya. Jangan sampai putus silaturahim.”

“Iya, Mas, InsyaAllah..” Dinda sedikit lega dengan tanggapan Fatah—setidaknya untuk saat itu.

Di perjalanan pulang…

Dinda dan Keysha terdiam. Sesekali Keysha melirik ke arah Dinda. Dinda tampak terbebani dengan apa yang baru saja terjadi. Keysha masih bingung dengan jawaban Dinda. Bagaimana bisa Dinda—yang sangat mengagumi Fatah dan berharap Fatah menyatakan cintanya—menolak dengan tegas? Keysha yakin Dinda tidak sedang main-main. Tetapi, kenapa?

“Din…” Keysha membuka percakapan. “Kenapa Lo nolak lamarannya Kang Fan, eh, maksud gue Mas Fatah? Bukannya Lo ngarepin dia, ya?”

Dinda menghentikan mobilnya di pinggir jalan tol. “Kok berhenti, Din? Lo nggak takut disamperin sama po—“

“Awalnya emang gitu, Key,” potong Dinda. “Bahkan sampe tadi kita tiba di saung pun gue masih berharap sama Mas Fatah. Tapi, waktu Mas Fatah dateng dan gue tatap wajahnya, perasaan gue ilang begitu aja,” sambungnya.

“Kok bisa, Din?”

“Gue juga nggak tau. Tapi gue berusaha meyakinkan diri kalau ini adalah jawaban atas doa gue,” jawab Dinda.

“Hah? Maksudnya, Lo berdoa supaya perasaan Lo ilang di saat Lo suka banget sama Mas Fatah?” Keysha bingung.

“Nggak gitu. Dalam doa, gue minta pertolongan sama Allah. Gue minta yang terbaik dari-Nya. Kalau memang gue jodoh sama Mas Fatah, maka…ya Lo tau, lah…gue ingin nikah sama dia. Tapi, kalau ternyata Gue nggak jodoh sama Mas Fatah, gue minta dijauhkan dari Mas Fatah, digantikan dengan yang lebih baik, dan…dihilangkan semua perasaan gue sama Mas Fatah,” Dinda menjelaskan dengan penuh keyakinan.

“Dan akhirnya semua perasaan Lo sama Mas Fatah bener-bener ilang?”

“Ya, dan itu artinya Mas Fatah bukan jodoh gue. Allah mengabulkan doa gue, Key… Alhamdulillah…” Dinda tersenyum sambil memandangi mobil-mobil yang melaju kencang.

Keysha bingung dengan ucapan hamdalah yang diucapkan Dinda. “Alhamdulillah, Din? Maksudnya? Emangnya Lo nggak sedih karena nggak ditakdirkan sebagai jodohnya Mas Fatah?”

Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menatap mata Keysha dalam-dalam. “ Gue sangat bersyukur, Key. Pertama, gue bersyukur karena Allah menegur gue untuk tidak berlebihan dalam menyukai seseorang. Setelah ini, gue harus bisa mengendalikan diri lebih baik lagi. Kedua, Allah memberi jawaban—bahwa gue sama Mas Fatah nggak jodoh—di saat yang tepat, yaitu sebelum gue terlanjur bilang ‘ya’ sama lamarannya Mas Fatah. Coba kalau setelah itu, pasti masalahnya akan semakin rumit, kan?”

Keysha menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengatakan kebenaran yang menurutnya harus Dinda ketahui. Ya, ini kesempatan yang bagus, di saat Dinda sudah tak menyukai Fatah lagi.

“Dinda.”

“Hmm?”

“Sekarang gue udah nggak penasaran dengan wajah Mas Fatah yang sempet Lo kagumi itu. Tapi, Lo masih penasaran nggak sama wajah Kang Fandi?” Keysha sedikit ragu membahas ini.

“Ooh… Kang Fandi yang minggu lalu Lo tunjukin waktu di MPI, kan? Iya, masih penasaran. Abis, waktu itu gue nggak sempet liat mukanya. Keburu berbalik badan dan terhalang oranglain. Lo punya fotonya?”

“Nggak… Lo udah tau, kok, siapa orangnya.”

“Gue? Mana mungkin…”

“Kang Fandi itu… sebenernya… Mas Fatah…,” Keysha menunduk, mengira-ngira bagaimana ekspresi wajah Dinda setelah tahu kebenarannya.

Subhanallah! Serius, Key? Lo kenapa baru bilang sekarang? Jadi, tadi Lo ngorbanin perasaan Lo saat Mas Fatah nyatain ke gue? Trus, kenapa Lo panggil dia Kang Fandi? Setau gue, nama lengkap Mas Fatah nggak ada nama ‘Fandi’nya,” Dinda—tentu saja—kaget dibuatnya.

“Gue juga baru tau tadi pas pertama kali liat wajahnya Mas Fatah. Dan nama ‘Fandi’ juga gue dapet, dulu, saat diem-diem dengerin Mas Fatah—yang waktu itu lagi di depan gue—menghubungi temennya lewat Hp. Kan gue pernah bilang sama Lo kalau gue belum kenal sama dia. Ya, udah. Gue pake aja nama temennya itu,” Keysha menjelaskan.

“Berarti… selama ini… dalam doa jodoh kita… kita menyebutkan orang yang sama, dong? Hahaha… Bisa gitu, ya?!” Kaget Dinda berubah menjadi takjub atas kenyataan ini.

Dinda ingin menanyakan bagaimana perasaan Keysha pada Fatah. Mungkinkah ia mengalami hal yang sama, atau justru masih menyimpan harapan, terlebih lagi setelah tahu bahwa ‘saingannya’ berkurang. Namun, sebelum ia bertanya, Keysha angkat bicara lebih dulu.

“Din, apa boleh gue meneruskan doa gue, berharap lagi sama Mas Fatah, dan kalau emang dia jodoh gue, gue ingin me—“

“Boleh, Key… Bahkan kamu menikah dengan Mas Fatah pun siapa yang bisa melarang? Toh gue juga sekarang nggak punya perasaan apa-apa sama dia. Ckckck.. Ajaib, ya? Gue sendiri juga masih nggak percaya,” Dinda tertawa kecil, lalu melanjutkan pembicaraan,”Tapi untuk sekarang, Lo jangan bertindak dulu, Key. Dalam waktu dekat ini, perasaan Mas Fatah pasti masih tertuju ke gue.”

“Iya. Gue ngerti. Gue juga nggak akan buru-buru. Jodoh nggak akan ke mana. Dan kalau emang jodoh, Allah pasti menunjukkan jalan.”

“Betul. InsyaAllah.

Dua tahun kemudian…

Dinda tampak cantik hari ini. Pakaian gamisnya yang berwarna merah muda dengan jilbab yang berwarna serupa, sepatu hak setinggi 10 cm, juga sebuah tas kecil yang diselempangkan di bahu kanannya membuat Dinda terlihat anggun. Ia turun dari mobilnya dan bersiap memasuki mesjid Al-Hasan, hendak menyaksikan proses ijab qabul pernikahan sahabatnya, Keysha.

Keysha belum tampak di tempat berlangsungnya ijab qabul. Di sana baru ada ayahnya, penghulu, dan seorang pria tampan berkostum pengantin. Siapa lagi kalau bukan Mas Fatah. Awalnya, mereka tentu tak saling mengenal satu sama lain. Tetapi, bukankah selalu ada jalan bagi mereka yang sudah ditakdirkan berjodoh?

Dinda menolehkan wajahnya ke arah pintu mesjid. Keysha tampak sangat memesona dengan gaun serba putihnya. Subhanallah, tak pernah sebelumnya Keysha berdandan seperti ini. Senyum manis Dinda mengembang. Keysha yang sempat melihat Dinda pun membalas dengan senyuman yang tak kalah manisnya.

Setelah proses ijab qabul, kedua mempelai dan para tamu, termasuk Dinda, pindah ke gedung resepsi pernikahan yang ada di samping mesjid. Dinda ikut mengantri dengan para tamu untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Terlihat gerakan canggung Mas Fatah saat berhadapan dengan Dinda.

Barakallaah ya, Mas,” ucap Dinda. Fatah hanya menjawabnya dengan senyuman. Khawatir ada perasaan yang muncul tidak pada tempatnya, Dinda segera beralih pada Keysha dan memeluknya erat. “Selamat, Key! Lo cantik banget hari ini.”

“Lo pengen didandanin cantik kayak gue?”

Dinda mengangguk.

“Makanya, cepet nikah, dong! Hahahaa…” Keysha membuat Dinda iri—sedikit.

“Doain aja biar gue dapet yang terbaik, ya..”

“Iya, insyaAllah.

Setelah bersalaman, Dinda memotret Keysha dan Fatah dari bawah panggung sambil tetap mengembangkan senyumnya. Namun, saat ia berbalik ia menabrak seorang pria yang memakai celana jeans berwarna biru dan kemeja ungu pendek bercorak batik. Orang itu hampir saja terjatuh.

“Eh, maaf, Mas! Maaf, saya nggak tau ada orang di belakang saya,” Dinda merasa bersalah.

“Nggak apa-apa. It’s ok,” sahutnya. Saat melihat Dinda, ia seperti pernah melihat sebelumnya. “Kamu… suka ke MPI tiap minggu, ya?”

“Loh? Kok tau? Mas juga suka ke sana?” Dinda heran.

“Iya. Nggak tau kenapa, hampir tiap minggu saya liat kamu di sana. Eh, sekarang malah ketemu di sini. Saya juga nggak nyangka kalo ternyata temen SMA saya, Fatah, malah nikah sama temen kamu yang suka bareng-bareng ke MPI juga,” jelas pria itu.

“Oh, gitu. Hahahaa.. Nama Mas?”

“Perkenalkan, saya Fandi. Saya dokter di salah satu rumah sakit besar di Bandung,” ujar Fandi.

Ah! Namanya… Fandi? Terdengar familiar.

Dinda menahan tawa, membuat Fandi bertanya, “Kenapa?”

“Ah, nggak. Saya Dinda, sahabat Keysha sejak kuliah di Jakarta. Saya bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Fatah. Eh, Mas Fandi mau mengambil gambar mereka juga? Silakan. Saya harus segera ke Bandung. Masih ada urusan,” pamit Dinda.

“Oh, oke. See you next time,” Fandi berbalik arah setelah mendapat balasan senyum dari Dinda. Dinda pun segera menuju ke pintu gedung.

Detik itu, tak ada satu pun yang tahu, tak seorang pun yang menyadari, bahwa mereka, Dinda dan Fandi, ditakdirkan untuk…berjodoh.

17 thoughts on “Maybe, It’s You

  1. hmm..bagus ceritanya…
    Pembaca bsa d buat tertipu krn sdari awal mmbaca ia mngkn akn mnebak bhwa ‘ending’nya dinda dn fatah menikah…ternyata…
    Dgn tema yg bernuansa ‘sensi’ bagi sbagian org..tp stidaknya pmbaca akn ‘tercerahkan’ tntang hakekat ‘jodoh’
    hehe..
    Congratulations on your success.

  2. Assalamu’alaikum.. Salam hangat dan persahabatan.. Tulisannya bagus.. Ni seperti diary,isinya ringan tapi penuh makna.. Yang membacanya kebawa arus,seakan tak ingin melewati kalimat demi kalimat.. Sampai dengan akhir cerita.. Pokoknya pembaca di buat terbuai dalam imajinasi.. Penulis pintar membawa suasana cerita hingga pembaca berandai-andai.. Akhir ceritanya seperti yang pembaca pikirkan.. Sukses untuk karya2nya..

    Wassalam
    http://aryanto2012.mywapblog.com

  3. Ini cerita layak di film kan, kalau boleh diizinkan nanti akan kami tuliskan skripnya,, sepertinya utk ftv stelah ramadhan pas neh,, wlau alurnya sprti agak dejavu sma salah satu flim,, namun dapat dibungkus dgn pesan islami tntang rahasis jodoh dari tuhan 😀

    • Subhanallah. Ini serius?? :O
      Ini asli karya saya, ko. Karena ada bagian yang memang saya ceritakan berdasarkan pengalaman pribadi saya. Saya tidak menjiplak ataupun terinspirasi dari film manapun. 🙂
      Kalo memang serius, mungkin saya akan coba poles ulang ceritanya. Atau iseng-iseng ikut nulis skripnya juga. Hehe.. 😀

  4. Tidak kok mbak ane bukan penulis cuma pengusul,, pernah buat dan kirim tpi tidak tau kabarnya hahaha 😀
    sekilas ane baca saja udah menarik neh,,
    bisa langsung di buat sendiri dan di kirim ke PH nya..
    moga-moga aja pak Leo sutanto yg tertarik.. Aaamiiiiinnnnnn

Leave a reply to Dini Nurhadyani Cancel reply